topbella

Friday, October 30, 2015

"Aku lebih senang belajar di rumah" *Asma' Deschooling*

Alhamdulillah, dengan kemudahan dari Allah, per tahun ajaran baru ini, Asma' memulai pembelajaran HS (homeschooling). Sebenarnya sih dah sejak setahunan yang lalu dia mengutarakan keinginannya untuk HS. Waktu itu Asma' masih kelas 3 SD. Karena saya nggak paham-paham banget tentang HS, sekedar baca-baca "sambil lewat" aja buat nambah wawasan, jadi belum "klik" untuk memulai HS. Bisa dibilang, nggak ada bayangan malahan mau HS. Ada sih beberapa temen yang anaknya dah HS. Unschooling malah. Jadi nggak pernah "makan" bangku sekolah (hehe...), langsung HS. Tapi nggak kepikiran samsek untuk HS.

Akhir-akhir kelas 3, Asma' semakin menunjukkan kecenderungan untuk belajar di rumah dan kuatnya keinginan dia untuk nggak sekolah formal. Dia bilang (suewering banget bilang bahkan),
"Belajar itu kan nggak harus di sekolah, Mi. Di rumah juga bisa."
"Aku lebih senang belajar di rumah daripada di sekolah."
Bla bla bla...

Setelah melalui berbagai pertimbangan, finally, kami pun memutuskan untuk memilih HS sebagai metode pembelajaran bagi Asma'.

Wednesday, December 31, 2014

Uenkr

Hjele

Masihkah Engkau Usap Anakmu?

Sukaaaa banget sama tulisan Ustadz Fauzil Adhim yang ini... Daleeeemm banget :')

"Berbincang tentang ibu, apakah yang mengantarkan orang-orang besar itu meraih kemuliaan dan kehebatannya?

Apakah karena cerdasnya seorang ibu dalam mengasuh, ataukah tulusnya cinta mereka sehingga bersedia berpayah-payah dan berletih-lelah mendampingi buah hatinya mempelajari kehidupan?

Ataukah karena ibu yang mengikhlaskan rasa sakitnya untuk mendidik dan mengasuh anaknya?"

="(

Masihkah Engkau Usap Anakmu?

Oleh Mohammad Fauzil Adhim

Kalau hari ini anak-anak itu menangis, apakah yang akan mereka harapkan tatkala berlarian mendekat kepadamu? Adakah engkau tawarkan kepada mereka setangkup roti ataukah engkau bentangkan tanganmu untuk mendekapnya dengan penuh ketulusan dan kehangatan?

Berbincang tentang ibu, apakah yang mengantarkan orang-orang besar itu meraih kemuliaan dan kehebatannya? Apakah karena cerdasnya seorang ibu dalam mengasuh ataukah tulusnya cinta mereka sehingga bersedia berpayah-payah dan berletih-lelah mendampingi buah hatinya mempelajari kehidupan? Ataukah karena ibu yang mengikhlaskan rasa sakitnya untuk mendidik dan mengasuh anaknya?

Pertanyaan yang sama juga patut kita ajukan ketika kita mendapati kisah orang-orang jenius. Darimanakah mereka berasal? Apakah dari rahim para ibu yang jenius dan mengerti betul tentang kecerdasan maupun bakat anaknya? Atau, pertanyaan itu perlu kita balik sejenak, perlukah seorang ibu mengetahui bakat dan kecerdasan anaknya agar mampu mengantarkan sang buah hati menjadi manusia jenius?

Ini memang pernyataan konyol, tetapi saya serius mengajak Anda untuk menjawab secara jujur seraya merenung; sebelum ada tes bakat, sudah pernah adakah orang-orang yang dikenal luas karena kemampuannya yang cemerlang? Sebelum ada tes IQ, adakah jenius-jenius besar yang mewarnai sejarah? Kita tak dapat mengelak bahwa amat banyak, bahkan amat sangat banyak sosok cemerlang yang pemikiran, temuan dan usaha gigihnya berpengaruh besar terhadap sejarah peradaban manusia hingga hari ini. Sebaliknya, kita masih menunggu –jika benar sesuai klaim mereka—manusia-manusia jenius yang terlahir dari musik Mozart atau pendekatan instant lainnya?

Sejak tahun 1996, telah ratusan ribu kopi keping CD, kaset maupun file digital musik Mozart beredar demi memenuhi mitos bahwa musik Mozart menjadikan anak kita jenius. Tetapi sampai hari ini, tak satu pun jenius yang terlahir darinya. Hasil paling nyata dari mitos tentang musik Mozart yang didengung-dengungkan tanpa pijakan riset ilmiah memadai adalah industri musik dengan keuntungan besar tanpa perlu banyak biaya promosi.

Teringatlah saya dengan pernyataan Alex Ross sebagaimana dapat kita baca pada buku Talent is Overrated karya Geoff Colvin. Ross menyatakan, “Orangtua yang ambisius dan sekarang ini sedang mempertontonkan video “Baby Mozart” kepada bayinya bisa kecewa tatkala mempelajari bahwa Mozart menjadi Mozart karena kerja keras yang luar biasa.”

Cukuplah bagi kita peringatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menampik mitos tentang musik Mozart. Cepat atau lambat, segala yang bertentangan dengan syariat akan tampak kelemahan dan kekeliruannya.

Mari sejenak kita mengingat sabda Nabi, “Kelak akan ada sekelompok kaum dari umatku yang akan menghalalkan zina, kain sutra (bagi lelaki), khamr, dan, alat-alat musik.” (Riwayat Bukhari)

Bagaimana mungkin kita akan mencetak generasi Muslim yang tangguh dan jenius, sementara jalan yang kita tempuh justru bertentangan dengan agama ini?

Di luar itu, buku Colvin sendiri –sebagaimana tercermin dalam judulnya– menunjukkan betapa kita sering berlebihan menilai (overrated) bakat. Kita sibuk mengejar, mengetahui, dan meyakinkan diri tentang bakat anak kita. Sesudahnya kita bersibuk memenjarakan anak dengan hanya memberi rangsangan pada apa-apa yang kita yakini sebagai bakatnya. Padahal boleh jadi, apa yang sekarang tampaknya merupakan bakat anak kita, hanya merupakan bekal awal untuk menuju keunggulan berikutnya yang saat ini justru menjadi titik lemahnya. Banyak dari kita yang meyakini anak memiliki kecerdasan majemuk, tetapi memperlakukannya seakan berbakat tunggal (single talent treatment), yakni hanya menempa apa yang kita anggap sebagai bakatnya berdasarkan hasil tes bakat yang reliabilitas dan validitasnya amat sangat perlu dipertanyakan.

Ironis.

Tetapi, marilah kita kembali pada pertanyaan, perlukah kita mengetahui IQ anak? Pentingkah orangtua memahami bakat anak? Rasanya sedih ketika saya harus menyampaikan bahwa pengetahuan tentang bakat anak hampir tidak ada manfaatnya. Menelusuri hasil-hasil riset yang diungkap oleh Andrew Robinson dalam bukunya bertajuk “Sudden Genius?”, kita terhenyak bahwa pemahaman tentang bakat tak banyak berperan mengantarkan anak menjadi manusia-manusia brilian. Sebaliknya, kita mendapati betapa banyak orang-orang sukses yang justru lahir dari ibu-ibu lugu. Carl Frederich Gauss yang berjuluk “The Princes of Mathematics” lahir dari orangtua tak berpendidikan. Ibunya bahkan buta huruf. Begitu pula sejumlah jenius lain.

Apakah Imam Syafi’i Rahimahullah menjadi sosok yang sangat fenomenal dengan kepakaran yang nyaris tak tertandingi hingga hari ini, lahir dari ibu yang mendalami bakat anak? Tidak. Tes bakat bahkan belum ada saat itu. Apakah Imam Ahmad Rahimahullah yang hafal dan paham puluhan ribu Hadist lahir dari ibu yang telah belajar tentang teknik mengingat instant? Tidak. Tetapi mereka memiliki ketulusan, penerimaan tanpa syarat, cita-cita besar, dan kesediaan untuk berpayah-payah mendampingi anaknya. Mereka tak letih memberi usapan sayang dan sentuhan penuh perhatian kepada buah hatinya. Mereka tak putus-putus mendoakan anaknya. Yang mereka bangun bukan percaya diri anak, tetapi keyakinan yang kuat kepada Allah ‘Azza wa Jalla semenjak hari-hari awal kehidupan anak.

Pertanyaan, masihkah engkau mengusap anakmu ketika mereka sedang gelisah? Masih adakah ketulusan itu di hatimu? Adakah kerelaan untuk berpayah-payah mengasuh dan mendampingi mereka? Ataukah kita cukup mempercayakan pendidikan mereka kepada sekolah saja? Padahal kelak kitalah yang akan ditanya atas iman anak-anak kita. Ataukah untuk menyiapkan anak-anak agar menjadi pribadi yang cerdas dan cemerlang, kita cukup mengandalkan lembaga bimbingan belajar atau bisnis kecerdasan ajaib yang tak pernah melahirkan manusia jenius?

Menerima secara tulus berarti ridha atas apa yang dikaruniakan kepada kita melalui anak-anak kita. Maka kita bersungguh-sungguh mengasuh mereka, menyayangi mereka, memberi dukungan tatkala mereka menghadapi kesulitan dan bukannya mengambil alih kesulitan tersebut. Semoga dengan demikian anak-anak itu kelak memiliki kesanggupan menghadapi tugas-tugas berat demi memperjuangkan agamanya.

Semoga kelak mata kita disejukkan oleh hadirnya anak-anak yang merelakan keringatnya, hartanya dan letih-lelahnya untuk menolong agama Allah ‘Azza wa Jalla. Mereka berpenat-penat karena amat sangat mengingini akhirat. Bukan karena terpukau gemerlap dunia.

Masalahnya, dimanakah kita harus menyekolahkan anak-anak kita agar mereka memperoleh pendidikan yang menghidupkan jiwa mereka, menegakkan iman mereka, dan membangkitkan tekad yang kuat untuk senantiasa memperjuangkan agamanya?

SUARA HIDAYATULLAH, AGUSTUS 2012

Di mana hatinya?

Seorang ibu tampak bergegas memasuki ruang pendaftaran di sebuah puskesmas. Beberapa orang terlihat duduk  mengantri, menunggu namanya dipanggil ke ruang periksa.

Sang ibu itu pun berdiri di depan loket pendaftaran. Sekilas ia menatap nomer digital antrian yang terpampang, yang menunjukkan nomer terakhir yang dipanggil. No 126.

Dia pun hendak mengambil kertas nomer antrian yang tertera angka 127. Habis ini bisa langsung dipanggil, demikian mungkin pikirnya.

Namun, ia terhalang seorang ibu dan anaknya yang sedang berdiri di depannya yang melakukan proses pendaftaran. Ia pun mengurungkan uluran tangannya. Ketika ia hendak mengambil kembali nomer urut antrian, ternyata tumpukan nomer itu sudah cepat-cepat diambil oleh petugas pendaftar. Dan petugas itu pun meletakkan tulisan TUTUP di loketnya.

Padahal, saat itu jam masih menunjukkan pukul 10.20. Masih ada sisa waktu 10 menit sebelum jam pendaftaran Puskesmas tutup. Sang ibu pun menanyakan apakah tidak bisa daftar satu lagi saja.

Petugas perempuan yang berkacamata dan berambut pendek ala lelaki itu bertanya, "Mau periksa apa?"

"Periksa umum," jawab ibu tersebut.

"Yang ngantri (mau periksa) sudah banyak," sahut petugas puskesmas, terkesan acuh.

Ibu muda itu menghela nafas. Seorang ibu lain yang memegang nomer antrian 126, berdiri di dekatnya, berkata kepadanya, "Tadi nggak langsung diambil aja nomernya."

Ia menjawab, "Tadi sudah mau saya ambil, tapi diambil sama mbaknya (petugas)."

Ia pun melangkah gontai meninggalkan ruang. Pupus harapannya untuk bisa memeriksakan kondisi tubuhnya yang terasa sakit sejak hari kemarin.

Secuil rasa sakit yang lain mungkin terselip. Bukan sakit secara fisik. Melainkan rasa sakit yang menusuk batinnya.

Dimanakah hati petugas Puskesmas itu, hingga bersikap demikian?

Dimanakah hatinya, hingga ia tak berempati terhadap orang sakit yang ingin periksa?

Dimanakah hatinya?

*Sebuah kejadian nyata yang terekam saat ngantri di sebuah Puskesmas*

#ironi_layanan_publik

Tung-tung Calistung (Memahami Standar Perkembangan Anak)

Seringkali, ada ortu-ortu para balita yang anaknya masih TK bahkan playgroup, nyeletuk atau berkomentar, "Eh, si A anak saya ini sudah bisa baca, padahal usianya baru bla bla bla."

"Masih kecil tapi dah pinter nulis lho anak saya."

"Kalo soal itung-itungan, anak saya ini paling jago dibanding temen-temennya."

Dan bla-bla-bla lainnya...

Anak-anak yang belum bisa baca, nulis atau ngitung, dianggap "kurang mampu", " kurang cerdas", "kalah pintar" dibanding anak seusianya yang sudah mahir calistung.

Padahal, sebenarnya... Anak-anak kita di usia balitanya, tidak sedang ikut lomba calistung, yang kemampuannya dan kecerdasannya hanya diukur dari aspek calistung/kognitif saja. Ada aspek emosi, sosial, motorik dan psikomotorik yang seharusnya juga menjadi konsentrasi kita dalam mendidik anak-anak balita itu.

Pernah baca, hanya perlu waktu 3 bulan untuk melatih seorang anak bisa itung-itungan. Tapi, butuh waktu lebih dari 15 tahun untuk bisa membuat seorang anak mampu mengendalikan emosi, berempati, peduli teman dan lingkungan serta memiliki karakter yang baik.

Lagipula, kalo kita baca standar tingkat pencapaian perkembangan anak usia paud/balita, mereka baru pada tahap mengenal lambang bilangan dan angka, konsep banyak sedikit, dll. Sebagaimana tabel yang dikutip dari Permendiknas berikut :

Tingkat Pencapaian Perkembangan Kelompok Usia 4 – ≤ 6 Tahun

LINGKUP PERKEMBANGAN TINGKAT PENCAPAIAN PERKEMBANGAN USIA 4   -  <5 TAHUN & USIA 5  -   ≤6 TAHUN

I. Nilai-nilai Agama dan Moral

USIA 4   -  <5 TAHUN
1.  Mengenal Tuhan melalui agamayang dianutnya.

2.  Meniru gerakan beribadah.

3.  Mengucapkan doa sebelum dan/atau sesudah melakukan sesuatu.

4.  Mengenal perilaku baik/sopan dan buruk.

5.  Membiasakan diri berperilaku baik.

6.  Mengucapkan salam dan membalas salam.

1.  Mengenal agama yang dianut.

2.  Membiasakan diri beribadah.

3.  Memahami perilaku mulia (jujur, penolong, sopan, hormat, dsb).

4.  Membedakan perilaku baik dan buruk.

5.  Mengenal ritual dan hari besar agama. 

6.  Menghormati agama orang lain.

II. Fisik

A. Motorik Kasar 

USIA 4   -  <5 TAHUN
1.  Menirukan gerakan binatang, pohon tertiup angin, pesawat  terbang, dsb.

2.  Melakukan gerakan meng-gantung (bergelayut).

3.  Melakukan gerakan melompat, meloncat, dan berlari secara terkoordinasi

4.  Melempar sesuatu secara terarah

5.  Menangkap sesuatu secara tepat

6.  Melakukan gerakan antisipasi

7.  Menendang sesuatu secara terarah

8.  Memanfaatkan alat permainan di luar kelas.

USIA 5  -   ≤6 TAHUN
1.  Melakukan gerakan tubuh secara terkoordinasi untuk melatih kelenturan, keseimbangan,dan kelincahan.

2.  Melakukan koordinasi gerakan kaki-tangan-kepala dalam menirukan tarian atau senam.

3.  Melakukan permainan fisik dengan aturan.

4.  Terampil menggunakan tangan kanan dan kiri.

5.  Melakukan kegiatan kebersihan diri. 

B. Motorik Halus

USIA 4   -  <5 TAHUN
1.  Membuat garis vertikal, horizontal, lengkung kiri/kanan, miring kiri/kanan, dan lingkaran.

2.  Menjiplak bentuk.

3.  Mengkoordinasikan mata dan tangan untuk melakukan gerakan yang rumit.

4.  Melakukan gerakan manipulatif untuk menghasilkan suatu bentuk dengan menggunakan berbagai media. 

5.  Mengekspresikan diri dengan berkarya seni menggunakan berbagai media.

USIA 5  -   ≤6 TAHUN
1.  Menggambar sesuai gagasan-nya.

2.  Meniru bentuk.

3.  Melakukan eksplorasi dengan berbagai media dan kegiatan.

4.  Menggunakan alat tulis dengan benar.

5.  Menggunting sesuai dengan pola.

6.  Menempel gambar dengan tepat.

7.  Mengekspresikan diri melalui gerakan menggambar secara detail. 

C. Kesehatan Fisik

USIA 4   -  <5 TAHUN
1.  Memiliki kesesuaian antara usia dengan berat badan.

2.  Memiliki kesesuaian antara usia dengan tinggi badan.

3.  Memiliki kesesuaian antara tinggi dengan berat badan.

USIA 5  -   ≤6 TAHUN
1.  Memiliki kesesuaian antara usia dengan berat badan.

2.  Memiliki kesesuaian antara usia dengan tinggi badan.

3.  Memiliki kesesuaian antara tinggi dengan berat badan.

III. Kognitif

A. Pengetahuan umum dan sains

USIA 4   -  <5 TAHUN
1.  Mengenal benda berdasarkan fungsi (pisau untuk memotong, pensil untuk menulis).

2.  Menggunakan benda-benda sebagai permainan simbolik (kursi sebagai mobil).

3.  Mengenal gejala sebab-akibat yang terkait dengan dirinya.

4.  Mengenal konsep sederhana dalam kehidupan sehari-hari (gerimis, hujan, gelap, terang, temaram, dsb).

5.  Mengkreasikan sesuatu sesuai dengan idenya sendiri

USIA 5  -   ≤6 TAHUN
1.  Mengklasifikasi benda berdasarkan fungsi.

2.  Menunjukkan aktivitas yang bersifat eksploratif dan menyelidik (seperti: apa yang terjadi ketika air ditumpahkan).

3.  Menyusun perencanaan kegiatan yang akan dilakukan.

4.  Mengenal sebab-akibat tentang  lingkungannya (angin bertiup menyebabkan daun bergerak, air  dapat menyebabkan sesuatu menjadi basah.)

5.  Menunjukkan inisiatif dalam memilih tema  permainan (seperti: ”ayo  kita bermain  pura-pura seperti burung”).

6.  Memecahkan masalah seder-hana dalam kehidupan sehari-hari.

B. Konsep  bentuk, warna, ukuran dan pola

USIA 4   -  <5 TAHUN
1.  Mengklasifikasikan benda berdasarkan bentuk atau warna atau ukuran.

2.  Mengklasiifikasikan benda ke dalam kelompok yang sama atau kelompok yang sejenis atau kelompok yang berpasangan dengan 2 variasi.

3.  Mengenal pola AB-AB dan ABC-ABC.

4.  Mengurutkan benda berdasar-kan 5 seriasi ukuran atau warna.

USIA 5  -   ≤6 TAHUN
1.  Mengenal perbedaan berdasarkan ukuran: “lebih dari”; “kurang dari”; dan “paling/ter”.

2.  Mengklasifikasikan benda berdasarkan warna, bentuk, dan ukuran (3 variasi)

3.  Mengklasifikasikan benda yang lebih banyak ke dalam kelompok yang sama atau kelompok yang sejenis, atau kelompok berpasangan yang lebih dari 2 variasi.

4.  Mengenal pola ABCD-ABCD.

5.  Mengurutkan benda berdasar-kan ukuran dari paling kecil ke paling besar atau sebaliknya.

C. Konsep bilangan, lambang bilangan dan huruf 

USIA 4   -  <5 TAHUN
1.  Mengetahui konsep banyak dan sedikit. 

2.  Membilang banyak benda satu sampai sepuluh.

3.  Mengenal konsep bilangan. 

4.  Mengenal lambang bilangan. 

5.  Mengenal lambang huruf.

USIA 5  -   ≤6 TAHUN
1.  Menyebutkan lambang bilangan 1-10.

2.  Mencocokkan bilangan dengan lambang bilangan.

3.  Mengenal berbagai macam lambang huruf vokal dan konsonan.

IV. Bahasa

A. Menerima bahasa

USIA 4   -  <5 TAHUN
1.  Menyimak perkataan orang lain (bahasa ibu atau bahasa lainnya).

2.  Mengerti dua perintah yang diberikan bersamaan.

3.  Memahami cerita yang dibacakan 

4.  Mengenal perbendaharaan kata mengenai kata sifat (nakal, pelit, baik hati, berani, baik, jelek, dsb.)

USIA 5  -   ≤6 TAHUN
1.  Mengerti beberapa perintah secara bersamaan.

2.  Mengulang kalimat yang lebih kompleks.

3.  Memahami aturan dalam suatu permainan.

B. Mengungkapkan Bahasa

USIA 4   -  <5 TAHUN
1.  Mengulang kalimat sederhana.

2.  Menjawab pertanyaan sederhana.

3.  Mengungkapkan perasaan dengan kata sifat (baik, senang, nakal, pelit, baik hati, berani, baik, jelek, dsb.).

4.  Menyebutkan kata-kata yang dikenal.  

5.  Mengutarakan pendapat kepada orang lain.

6.  Menyatakan alasan terhadap sesuatu yang diinginkan atau ketidaksetujuan.

7.  Menceritakan kembali cerita/ dongeng yang pernah didengar.

USIA 5  -   ≤6 TAHUN
1.  Menjawab pertanyaan yang lebihkompleks.

2.  Menyebutkan kelompok gambar yang memiliki bunyi yang sama.

3.  Berkomunikasi secara lisan,  memiliki perbendaharaan kata, serta mengenal simbol-simbol untuk persiapan membaca, menulis dan berhitung.

4.  Menyusun kalimat sederhana dalam struktur lengkap (pokok kalimat-predikat-keterangan).

5.  Memiliki lebih banyak kata-kata untuk  mengekpresikan ide pada orang lain.

6.  Melanjutkan sebagian cerita/ dongeng yang telah diper-dengarkan.

C. Keaksaraan

USIA 4   -  <5 TAHUN
1.  Mengenal simbol-simbol.

2.  Mengenal suara–suara hewan/ benda yang ada di sekitarnya.

3.  Membuat coretan yang bermakna. 

4.  Meniru huruf.

USIA 5  -   ≤6 TAHUN
1.  Menyebutkan simbol-simbol huruf yang dikenal.

2.  Mengenal suara huruf  awal dari nama benda-benda yang ada di sekitarnya.

3.  Menyebutkan kelompok gambar yang memiliki bunyi/huruf awal yang sama.

4.  Memahami hubungan antara bunyi dan bentuk huruf.

5.  Membaca nama sendiri.

6.  Menuliskan nama sendiri.

V. Sosial emosional 

USIA 4   -  <5 TAHUN
1.  Menunjukkan sikap mandiri  dalam memilih kegiatan.

2.  Mau berbagi, menolong, dan membantu teman.

3.  Menunjukan antusiasme dalam melakukan permainan kompetitif secara positif.

4.  Mengendalikan perasaan. 

5.  Menaati aturan yang berlaku dalam suatu permainan.

6.  Menunjukkan rasa percaya diri.

7.  Menjaga diri sendiri dari lingkungannya. 

8.  Menghargai orang lain.

USIA 5  -   ≤6 TAHUN
1.  Bersikap kooperatif dengan teman.

2.  Menunjukkan sikap toleran.

3.  Mengekspresikan emosi yang sesuai dengan kondisi yang ada (senang-sedih-antusias dsb.)

4.  Mengenal tata krama dan sopan santun sesuai dengan nilai sosial budaya setempat.

5.  Memahami peraturan dan disiplin.

6.  Menunjukkan rasa empati.

7.  Memiliki sikap gigih (tidak mudah menyerah).

8.  Bangga terhadap hasil karya sendiri.

9.  Menghargai keunggulan orang lain.

Hemm.. Jangan-jangan, karena kurang pahamnya kita akan standar perkembangan sesuai usia anak tersebut, ketika anak-anak kita belum bisa calistung di usia TK mereka, bisa jadi merasa galau bahwa anak kita "kurang mampu", "kurang cerdas" atau "kalah pintar" dibanding anak seusianya yang sudah mahir calistung.

Selain itu, ada banyak aspek lain yang seharusnya kita ajarkan pada anak2 usia dini kita. Dan yang paling penting adalah... Mereka bahagia menjalani fase childhood mereka tanpa beban dan tekanan...

Homeschool vision for my lovely daughter Asma'

First thing first... One of the most important things. More important than the particulars of books, learning schedule, curriculum, teaching aids, activities, etc. 

I want to enriches her character, hearts, and minds with what's Allah wants she is to be. Equip her with Islamic worldview to see the world. Make her grow in knowledge of Tauhid and Iman first and foremost. Make her know that all things we'll learn must be worth for our lives and afterlife.

It’s a reminder that it’s all worth it, because it’s not about learning math problems or memorizing subject and lesson. It’s about wholly educating our children, nurturing their hearts along with their minds, and preparing them for their place in Firdaus (hopefully, in sya'a Allah...)

Allahu muyassar

Monday, November 24, 2014

Sungguh, aku iri!

Saat melihat atau mengetahui sosok seorang hafidz/hafidzah, membayangkan bagaimana kalamullah ada di dalam relung hati dan dada-dada mereka.. Untaian ayat yang senantiasa melekat dan mendarah daging dalam diri mereka. Bukan nyanyian ataupun syair picisan, tapi Kalamullah.. Ayat-ayat Allah.. Yang sewaktu-waktu bisa terlantunkan, anytime! Dari al-fatihah hingga an-naas.. Utuh 114 surat. 30 juz. Hafal di luar kepala dengan itqan!

Maa syaa' Allah indahnya, bahagianya, dan betapa irinya aku terhadap mereka. Mereka yang dikehendaki Allah dan dimudahkan menjadi penghafal AlQur'an. Duuh, sungguh aku iri! Aku iri pada mereka!

Pun, saat melihat atau mendengar sosok pejuang-pejuang Allah, pedang-pedang Allah yang terhunus di berbagai belahan bumi ini. Mujahid-mujahid yang berjuang fi sabilillah.. Mengakhiri hidupnya dengan senyuman tersungging. Syahid di jalan-Nya.. Bertemu dengan Rabb-nya dalam  episode terakhir dan terindah sepanjang hidup. Mati karena memperjuangkan agama Allah. Meninggikan kalimat-Nya.. Senyum dan wangi jasadnya menjadi saksi kebahagiaannya berjumpa Sang Kekasih. Mengobati kerinduan yang telah lama menyiksa. Kerinduan yang memupus segala bentuk kerinduan syahwati dan fatamorgana. Kerinduan yang terjawab, bahwa cintanya tak bertepuk sebelah tangan.

Maa syaa' Allah indahnya, bahagianya, dan betapa irinya aku terhadap mereka. Mereka yang dikehendaki Allah sebagai bagian dari kafilah para syuhada'. Mereka yang mengakhiri hidupnya sebagai Asy-Syahid... Duuh, sungguh aku iri! Aku iri pada mereka!

Semoga rasa iri ini melecutkan sebuah semangat, untuk meniti jalan yang telah mereka lalui... Jalan terjal yang pasti tak mudah menempuhnya, kecuali yang Ia kehendaki. Mudahkan ya Allah! Tidak ada yang sulit bagi-Mu jika Engkau menghendakinya menjadi mudah..

Allahu muyassar...